Faceminang.com
pencarian di faceminang.com
Portal berita online terkini dari Padang, Sumatera Barat. -
Tour de Singkarak 2013

Top Stories

Sabtu, 07 Januari 2012

Djufri, Khairul Kena 4 Tahun Penjara

Berita: Sumatera Barat
Djufri, Khairul Kena 4 Tahun Penjara

Padang, Faceminang.com - Djufri, mantan Wali Kota Bukittinggi dan Khairul, mantan Sekretaris Kota Bukittinggi masing-masing dihukum 4 tahun penjara, dalam kasus dugaan mark-up harga tanah untuk kantor DPRD dan kantor Subdin Pertamanan dan Kebersihan Kota Bukittinggi tahun 2007. Putusan itu lebih ringan dari tuntutan penuntut umum. Sebelumnya, Djufri dituntut 4 tahun 6 bulan penjara, dan Khairul 4 tahun 3 bulan penjara.

Selain hukuman penjara, Djufri dan Khairul juga dihukum membayar denda masing-masing sebesar Rp 200 juta, subsider 6 bulan kurungan. Tapi keduanya tidak dikenakan uang pengganti. Usai mendengarkan putusan, Djufri yang juga anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Nonaktif, dan Khairul sepakat untuk menempuh upaya banding. Sementara itu, penuntut umum, menyatakan pikir-pikir dulu.

Putusan terhadap kedua terdakwa disampaikan dalam sidang terpisah oleh majelis hakim yang diketuai Asmuddin beserta anggota Sapta Diharja, dan hakim ad hoc Emria Fitriani. Terdakwa Djufri divonis lebih dulu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Padang. Sedangkan Khairul, divonis dalam sidang berikutnya.

Dalam memori putusan ratusan halaman yang dibacakan majelis hakim secara bergantian, disebutkan bahwa Djufri dan Khairul telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan JPU dalam Pasal 2 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b, Ayat 2, Ayat 3, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20 Tahun 2001.

Hakim menyebutkan, perbuatan para terdakwa telah memenuhi seluruh unsur dari pasal yang didakwakan. Mulai dari unsur ”setiap orang”, unsur ”secara melawan hukum”, unsur ”memperkaya diri sendiri, korporasi dan orang lain”, serta unsur ”yang dapat merugikan keuangan negara”.

”Terdakwa secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 704 juta,” kata Asmuddin.

Kerugian negara dihitung dari kemahalan (selisih) harga atas pembayaran tanah milik Syafri Sutan Pangeran yang akan digunakan untuk gedung DPRD sekitar Rp 74 juta, kemahalan harga untuk pembayaran tanah milik Bahniar, Maiyar, dan Yurni untuk Kantor Subdin Pertamanan dan Kebersihan sekitar Rp 564 juta. Serta kelebihan pembayaran honor panitia.

Seharusnya, kata hakim, pada pengadaan tanah senilai Rp 8,4 miliar untuk 9 item itu, dapat dibayarkan honor maksimal panitia sebesar Rp 50 juta. Tapi dalam pelaksanaannya, honor yang dibayarkan melebihi ketentuan, yakni sebesar Rp 117 juta. Sehingganya terjadi kelebihan pembayaran honor sekitar Rp 66 juta.

”Dalam kepanitiaan itu dibentuk sebanyak 29 orang. Jumlah anggota panitia ini tidak didasarkan pada aturan, tapi hanya didasarkan atas usulan dari Unggul, selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Kendati terdakwa telah mengembalikan honor tersebut kepada kas daerah, tapi tidak menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana korupsi tersebut,” tegas Asmuddin.

Putusan bersalah terhadap terdakwa, diakui Asmuddin telah mempertimbangkan beberapa hal. Yang memberatkan, karena tindakan terdakwa jelas-jelas tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan pelaksanaan pemerintahan yang baik.

Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, sudah lanjut usia, dan mempunyai tanggungan keluarga. Asmuddin menuturkan, JPU maupun terdakwa dan juga penasihat hukumnya mempunyai kesempatan untuk menyatakan keberatannya atas putusan itu selama 7 hari sejak putusan dibacakan.

Menanggapi putusan itu, penuntut umum, Dewi Permata Asri Cs menyatakan pikir-pikir dulu. Sedangkan Djufri dan Khairul bersama penasihat hukum mereka menyatakan akan menempuh upaya banding.

Tak Sesuai Aturan
Kasus korupsi yang menjerat Djufri dan Khairul ini, berawal dari adanya perubahan APBD Bukittinggi 2007. Pada pos anggaran Setko Bukittinggi tentang kegiatan pengadaan tanah November 2007, ada pagu dana sebesar Rp 9 miliar untuk 9 lokasi tanah.

Untuk merealisasikan pengadaan tersebut, dibentuk panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota Bukittnggi No 188 tertanggal 28 November 2007 yang ditandatangani Djufri. Dalam kepanitiaan, Djufri adalah penanggung jawab, dan Khairul ketua panitia pengadaan.

Dalam pelaksanaannya, tidak sesuai aturan, terutama terkait jumlah anggota panitianya, dan honor. Begitu juga dalam proses pembelian tanah, juga tidak dilakukan langsung kepada pemilik tanah. Tapi melalui perantara atau kuasa. Kemudian dalam penentuan harga, tidak dibentuk tim penilai harga. Berikutnya, terdapat selisih harga, dengan yang semestinya dibayarkan. Menurut hakim, negara telah dirugikan sekitar Rp 704 juta.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi memvonis bebas enam anggota panitia pengadaan tanah, yakni Yasmen (mantan Asisten I), Asma Hadi (mantan Kabag Hukum), Wasdinata (mantan Kabag Pemerintahan), Anderman (mantan Camat Mandiangin Koto Selayan), Dharmaputra (mantan Lurah Guguakbulek) dan Erwansyah (mantan Lurah Gantiang). Semua yang divonis bebas tersebut adalah panitia atau pihak yang terkait dalam pengadaan tanah.

Namun, JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA menghukum Anderman, Dharmaputra, dan Erwansyah dengan hukuman 1 tahun penjara, serta denda Rp 200 juta, subsider enam bulan kurungan. Sementara itu, Yasmen, Asma Hadi, dan Wasdinata, dihukum 4 tahun penjara, dan denda masing-masing Rp 200 juta atau subsider 1 bulan penjara.

Pertanyakan Putusan
Tumbur Simanjuntak, penasihat hukum Djufri, berpendapat tidak ada mark up dalam proses pengadaan tanah tersebut. Juga tidak ada aliran dana kepada Djufri. Dia menegaskan, semua uang ganti rugi pembebasan tanah telah diserahkan kepada pemilik tanah, tanpa ada pemotongan sepeser pun. Dalam negosiasi harga, dilakukan langsung oleh panitia negosiasi, bukan oleh Djufri. ”Dalam penentuan harga tanah, tidak ada sedikit pun perintah dari Wali Kota (Djufri),” kata Tumbur.

Djufri, kata dia, hanya menyetujui proses yang menurutnya telah dilaksanakan secara berjenjang dari bawah. ”Semuanya sudah diperiksa dan diparaf. Sebagai wali kota, dia (Djufri, red) hanya meneken. Dia meneken itu adalah perintah UU,” tutur Tumbur.

Dia mempertanyakan tentang kerugian negara yang didakwakan penuntut umum kepada kliennya. Menurutnya, tidak pantas penuntut umum hanya berpatokan pada kerugian negara dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Audit BPPK hanya menentukan harga rata-rata sebesar Rp236 ribu per meter yang diperoleh dari kisaran harga Rp225-250 ribu per meter. “Menurut BPKP, jika harganya Rp225 ribu menguntungkan negara, jika harganya Rp250 merugikan negara, bagaimana bisa seperti ini,” ujar Tumbur.

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Gerakan Lawan Mafia Hukum (Geram) Sumbar mengapresiasi putusan hakim Pengadilan Tipikor tersebut. Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan LBH Padang, Roni Saputra menegaskan, hakim Pengadilan Tipikor sudah memperlihatkan mereka bebas dari intervensi yang dikhawatirkan banyak pihak.

Koordinator Gerakan Lawan Mafia Hukum (Geram) Sumbar, Miko Kamal menilai putusan ini pertanda baik upaya pemberantasan korupsi di Pengadilan Tipikor Padang. Dia berharap pengadilan tinggi bisa mempelajari putusan itu dengan baik dan bisa memberikan putusan yang adil dan tidak jauh berbeda dari yang diberikan pengadilan negeri. ”Meski demikian, kami mengajak masyarakat juga turun tangan mengawasi setiap putusan pengadilan,” katanya.


sumber : padang ekspres