Padang, Faceminang.com - Djufri, terdakwa kasus dugaan mark-up harga tanah untuk pembangunan Kantor DPRD dan Kantor Subdin Pertamanan dan Kebersihan Kota Bukittinggi tahun 2007, tak kuasa membendung air matanya, saat membaca pembelaan (pledoi) pribadinya di Persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Padang, kemarin (28/12).
Air mata itu tak terbendung lagi saat Djufri membacakan bab penutup halaman 15 dari 16 halaman memori pembelaan pribadinya.
Suara Djufri serak, dan sesekali terputus-putus ketika air matanya tampak menetes dari balik kacamatanya. Dalam halaman 15 itu, dia menyampaikan ucapan terima kasih kepada penasihat hukumnya yang setia mendampingi dia selama persidangan.
Dia menegaskan, hubungan kekeluargaan yang telah terbangun selama ini dengan Penasihat Hukum (PH) Tumbur Simanjutak dan Anisda Nasution tidak hanya sebatas hubungan antara klien dengan PH. Tapi jauh lebih dalam, seperti hubungan bapak dengan anak, hubungan anak dengan bapak.
Suara Djufri kembali serak dan terputus karena tak sanggup menahan rasa harunya. Djufri melanjutkan, PH Tumbur Simanjutak telah memperlihatkan tanggung jawab yang besar dan akan selalu dia kenang. Demikian juga dengan PH Anisda Nasution.
“Saya punya anak tiga orang, kehadiran saudari adalah menjadikan empat orang anak saya saat ini. Terima kasih atas perhatian dan keikhlasan saudari Anisda,” ujar Djufri.
Di akhir pembelaan ini, Djufri juga meminta agar majelis hakim membebaskannya dari perkara ini. “Dengan segala kerendahan hati dan mohon perlindungan Allah Yang Maha Kuasa, saya mengharapkan majelis hakim yang mulia mempertimbangkan untuk menetapkan putusan bebas terhadap diri saya,” pinta Djufri.
Dalam pembelaannya, Djufri mengaku tidak sedikitpun ada niat untuk melakukan perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain maupun suatu korporasi yang berakibat pada kerugian Negara, dalam proses pengadaan tanah yang dilakukan Pemko Bukittinggi tahun 2007 saat dia menjabat sebagai Wali Kota Bukittinggi.
“Demi Allah, tidak sedikitpun ada niat untuk melakukan hal-hal tersebut di atas,” tutur Djufri di hadapan Hakim Ketua Asmuddin beserta anggota Sapta Diharja dan hakim ad hoc Emria Fitriani.
Dia menegaskan, panitia pelaksana kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan Kota Bukittinggi yang ditetapkan dengan SK Wako No: 188.45-352-2007 tanggal 28 November 2007 dibentuk berdasarkan UU No32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, PP No58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan Permendagri No13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah dan Permendagri No59 Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah yang merupakan perubahan Permendagri No13 Tahun 2006.
Di samping itu, tetap memperhatikan petunjuk yang ada pada Perpres No36 Tahun 2005, Perpres No65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN No03 Tahun 2007. “Jadi jelas bahwa panitia yang dibentuk dengan SK tersebut tidak bertentangan dengan Perpres No36 Tahun 2005, Perpres No65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN No03 Tahun 2007,” ungkap Djufri.
Panitia tersebut tidak sama dengan panitia pengadaan tanah yang dimaksud dengan Perpres No36 tahun 2005, Perpres No65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN No03 Tahun 2007. Panitia tersebut adalah semata-mata panitia pelaksanaan kegiatan dalam APBD Kota Bukittinggi. Panitia itu adalah bagian dari pelaksanaan APBD Bukittinggi Tahun 2007.
Tentang SK tersebut, diakui Djufri, ditandatanganinya setelah melalui proses yang panjang, penelitian atau pemeriksaan dari staf yang paling bawah sampai penelitian terakhir dari Sekko. “Semua diteliti kebenaran dari draf tersebut dan semua memparafnya,” sebut Djufri.
Kemudian Djufri kembali menerbitkan SK No188.45-353-2007 tanggal 30 November 2007 tentang penetapan indeks harga ganti rugi tanah permeter persegi di Kelurahan Campago Guguak Bulek Kecamatan Mandiangin Koto Selayan seharga Rp200 ribu.
Kemudian Djufri menerbitkan lagi SK No188.45-390-2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang penetapan indeks harga ganti rugi tanah permeter persegi bagi pelaksanaan pembangunan daerah Kota Bukittinggi atas objek tanah di Bukit Batarah Kelurahan Manggis Ganting Kecamatan Mandiangin Koto Selayan Bukittinggi.
Dalam SK tersebut, ditetapkan indeks harga tanah permeter milik Atis Mayuti sebesar Rp225 ribu, tanah Nauman Tuanku Nan Panjang sebesar Rp250 ribu. Setelah diproses bersama-sama dan berjenjang draf tersebut ditandatangani Djufri. “Berdasarkan fakta yuridis sangat jelas saya menandatangani SK tersebut melalui penelitian staf,” kata Djufri.
Terkait dakwaan penuntut umum, Djufri menilai penuntut umum hanya melihat sebelah mata. Penuntut umum sebagai manusia biasa bisa saja khilaf, keliru dalam menerapkan suatu ketentuan sehingga berimplikasi pada penetapan seseorang sebagai tersangka.
Dengan tidak mengurangi tekad untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, menurut Djufri, perlu adanya suatu filter melalui gelar perkara yang dihadiri pihak independen dan ahli bidang pemerintahan daerah. Seperti halnya dengan seorang kepada daerah sebelum diminta izin Presiden oleh Kejagung untuk diperiksa sebagai saksi atau tersangka, ada gelar perkara di gedung bundar yang dihadiri BPK, BPKP, Setneg dan Kemendagri.
“Saat ini, apa yang dialami pejabat setingkat sekda, kepala dinas ke bawah di tingkat provinsi, kabupaten/kota tidak sedikitpun filter seperti gelar perkara tersebut terhadap kasus mereka. Kalau jaksa berpendapat untuk menyatakan mereka tersangka, tersangkalah dia tanpa ada filter sama sekali,” ujar Djufri.
Dia mengimbau agar Kemendagri dapat memikirkan ini, membicarakan dengan pihak-pihak terkait untuk dapat dilakukan suatu filter atau gelar perkara sebelum seorang pejabat pemerintah daerah dinyatakan sebagai tersangka oleh jaksa di daerahnya.
Penuntut umum katanya, mendakwa dirinya, sebagai pelaku tindak pidana korupsi ini berdasarkan laporan BPKP Perwakilan Sumbar perihal hasil audit investigasi atas dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan tanah oleh Pemko Bukittinggi tahun 2007, audit investigasi tersebut berlangsung dari 21 April 2008-September 2008, berkenaan dengan laporan audit investigasi BPKP, Djufri menilai laporan investigasi BPKP itu mempunyai kelemahan.
Dimana sebagian prosedur audit tidak dapat sepenuhnya dilakukan karena terdapat pembatasan oleh penyidik Kejari bukitinggi. Pihak penyidik telah menahan 7 orang dari pihak audit yang ditetapkan tersangka saat audit masih berlangsung.
Sejak auditan ditahan, perolehan data dan keterangan hanya berasal dari penyidik berupa fotokopi dokumen dan berita acara pemeriksaan para saksi dan tersangka, serta pihak ketiga seperti Kantor BPN Bukittinggi, kantor pelayanan PBB Bukittinggi dan masyarakat.
Pembatasan tersebut mengakibatkan beberapa prosedur audit tidak dapat lagi dilaksanakan tim audit. Audit investigasi tersebut melanggar UU No15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara Pasal 16 ayat (4).
Akibatnya laporan BPKP tidak adil, tidak lengkap dan tentunya lebih mengemukakan oponi auditor. Jadi dari awal terlihat rekayasa audit dan kelemahan audit yang disampaikan BPKP Sumbar tersebut.
Laporan audit investigasi itupun tidak pernah disampaikan kepada auditan atau pejabat terkait. Saya baru membaca pertama kali fotokopinya di Kejati Sumbar pada saat saya dimintai keterangan sebagai tersangka.
Kemudian terkait penghitungan kerugian negara, penuntut umum menggunakan laporan hasil audit investigasi atas dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan taah Pemko Bukittinggi tahun 2007.
Dimana APBD Bukittinggi tahun 2007 telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp9 miliar untuk pengadaan 9 lokasi tanah dengan perincian belanja pegawai Rp186 juta, belanja barang dan jasa Rp34,4 juta dan belanja modal Rp8,7 miliar.
“Untuk honor dibayarkan masih dalam pagu anggaran yang disediakan, kecuali jika melampaui pagu anggaran barulah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan melawan hukum,” tukas Djufri.
APBD itu ditetapkan bersama walikota dan DPRD Bukittinggi, sebelum ditetapkan harus terlebih dahulu melewati proses evaluasi dari Gubernur. Untuk penghitungan harga, bukan harga rata-rata. Harga yang pasti itu adalah kesepakatan antara pemilik dan pembeli.
Dengan demikian, harga rata-rata BPKP bukan harga fixed price dan tidak dapat digunakan begitu saja untuk menetapkan harga tanah di lokasi tersebut.
Karenanya, harga rata-rata tersebut tidak pasti, maka penghitungan kemahalan harga itupun berada di posisi tidak pasti.
sumber : padang ekspres