Padang, Faceminang.com - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar terus mengembangkan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan PLTU Teluk Sirih. Kemarin (11/1), giliran Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Hendri Oktavia, dan dua karyawan PLN, Abdul Muchdi dan Setyadi Dewantoro.
Mereka diperiksa penyidik Zulkifli, Basril, dan Idial, secara terpisah mulai pukul 09.00 WIB hingga sore hari. Khusus Kadishut Sumbar, sebagai saksi ahli terkait pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Teluk Sirih.
Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sumbar, Ikwan Ratsudy mengatakan, penyidik hendak mendalami sejauh mana status lahan tersebut, apakah termasuk kawasan hutan atau tidak. Ikwan enggan merinci lebih jauh materi pemeriksaan dengan alasan untuk kepentingan penyidikan. Begitu juga Hendri Oktavia, ketika dikonfirmasi enggan membuka materi pemeriksaan.
Pemeriksaan ketiga saksi ini lanjutan dari pemeriksaan awal Januari lalu. Sampai saat ini, sudah 7 saksi diperiksa. Sebagian besar berasal dari pihak PLN.
“Tidak tertutup kemungkinan ada tersangka lain. Baik itu dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan PLN, serta dari kalangan Pemko Padang,” tutur Ikwan.
Sejauh ini, penyidik baru menetapkan seorang tersangka, yakni Basri Datuak Rajo Nan Sati, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Teluk Kabung.
Pada April lalu, penyidik sudah melakukan penyitaan uang di rekening tersangka Basri Datuak Rajo Nan Sati sebesar Rp 1,1 miliar dari BNI.
Usai penyitaan, uang tersebut dipindahkan ke BRI sebagai barang bukti. Rekening kejaksaan di BRI, merupakan rekening khusus untuk menyimpan barang bukti seluruh perkara korupsi yang ditangani.
Saat penyitaan, Basri Datuak Rajo Nan Sati, mengaku uang di rekeningnya itu adalah uang siliah jariah Nagari Teluk Kabung atas tanah yang digunakan untuk pembangunan PLTU Teluk Sirih. Hanya saja, uang itu sengaja disimpan di rekeningnya yang menurutnya sudah melalui kesepakatan di nagari.
Basri mengaku tidak pernah menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi. Uang sekitar Rp 200 juta, digunakan untuk pembangunan kantor KAN.
Kasus ini bermula karena tanah seluas 40 hektare sebagai kawasan hutan lindung, justru diakui tersangka sebagai tanah milik nagari. Tanah itu juga tidak memiliki sertifikat.
Kasus pidana pembebasan lahan dan jalan proyek pembangunan PLTU 2x100 MW tahun 2007 terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang dan atau kelalaian dalam menjalankan tugas.
Pengadaan tanah untuk pembangunan PLTU itu, tidak mengacu Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 dan Perubahan Perpres No 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
sumber : padang ekspres