Eli Muthia duduk termenung. Perempuan 40 tahun yang sehari-hari buruh tani di Jorong Bulakan, Nagari Tanjunggadang, Lareh Sago Halaban itu, benar-benar bingung memikirkan nasib anak sulungnya Siti Aiysah, 18.
Siti Aisyah yang baru saja menamatkan pendidikan di SMAN 2 Payakumbuh, dinyatakan lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Siti diterima pada Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Riau.
Untuk bisa menimba ilmu di perguruan tinggi kebanggaan ”Puak Melayu” tersebut, Siti harus menyetor uang Rp 4,3 juta. Rinciannya, biaya kelengkapan mahasiswa dan pengembangan pendidikan Rp 3,25 juta, SPP semester pertama Rp 904 ribu, dan pembuatan tabungan di BTN Rp 100 ribu.
”Uang sekitar Rp 4,3 juta itulah yang kami benar-benar tidak punya,” ujar Eli Muthia didampingi Siti Aisyah ketika datang ke kantor perwakilan Padang Ekspres Payakumbuh, Senin (4/7).
Eli Muthia datang bersama Hafnizal, Ketua Yayasan Haji Rasul Sumbar yang getol memperjuangkan kelangsungan pendidikan anak-anak miskin di Limapuluh Kota maupun Payakumbuh.
”Tadi, saya sedang menggelar acara khitanan massal gratis di Tanjungpati, Harau. Belum selesai acara khitanan, tiba-tiba datang Ibu Eli Muthia bersama anaknya Siti Aisyah. Mereka mengadu, tidak punya biaya untuk mendaftar kuliah,” cerita Hafnizal.
Sewaktu mendengar kisah ibu dan anak tersebut, Hafnizal yang tercatat sebagai guru kimia di SMAN 1 Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota, hanya bisa menghela napas. Hati kecilnya ingin untuk membantu, tapi apalah daya, Hafnizal cuma seorang guru rendahan.
Walau punya usaha sampingan beternak puyuh, tapi Hafnizal juga memiliki lebih dari 30 anak asuh yang membutuhkan biaya kuliah di berbagai perguruan tinggi. Makanya, saat mendengar kisah Siti Aisyah dan ibunya Eli Muthia, Hafnizal hanya bisa membawa kedua orang itu ke kantor perwakilan Padang Ekspres Payakumbuh.
”Mana tahu, dengan dimuatnya kisah Siti Aisyah di Padang Ekspres, ada pembaca yang tergugah. Sehingga bersedia menyelamatkan kelangsungan pendidikan anak pintar tapi miskin ini,” ujar Hafnizal pula.
Sewaktu Hafnizal bicara, Siti Aisyah bersama ibunya Eli Muthia hanya bisa merunduk. Mereka memilih diam seribu bahasa. ”Saya tidak tahu lagi, apa yang harus disampaikan. Saya benar-benar kehabisan akal,” aku Eli apa adanya.
Eli berkisah, sewaktu mendengar Siti Aisyah lulus SNMPTN, dia memang bangga. Begitu pula suaminya, Wardiman, 60, yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Tapi di balik kebanggaan itu, Eli maupun Wardiman sebenarnya menaruh gundah gelana.
Bagaimana tidak? Selain Siti Aisyah, Eli dan Wardiman juga memiliki tiga anak yang membutuhkan biaya sekolah. Mereka, Rohani yang tahun ini mendaftar sebagai siswa baru di SMAN 1, Muhamad Ali Hanafiah yang baru duduk di bangku kelas III SD, dan Hambali yang baru masuk SD.
”Ketiga adik-adik Siti itu, juga membutuhkan biaya yang besar untuk sekolah. Makanya, saat Siti dinyatakan lulus SNMPTN, saya langsung bilang kepadanya, agar kuliah tahun depan saja. Namun, Siti tetap ingin kuliah. Tentu, kami juga tidak bisa mematahkan semangatnya,” ucap Eli Muthia.
Kini, Eli Muthia dan anaknya Siti Aisyah hanya bisa berharap, ada dermawan yang sudi memberi bantuan. ”Sebab, kami benar-benar tidak punya uang. Mau menggadaikan, barang yang digadaikan juga tidak ada. Mau meminjam, rasanya juga susah,” ungkap Eli.
Sri Terbentur Biaya
Tidak hanya Siti Aisyah yang terbentur biaya kuliah. Dari Nagari Gurun, Harau, seorang siswi pintar bernama Sri Rahmi, 19, juga mengalami nasib serupa. Sri Rahmi yang baru saja menamatkan pendidikan SMAN Negeri 1 Harau, diterima di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang.
Untuk bisa kuliah di fakultas tersebut, Sri bersama kedua orangtuanya, pasangan suami-istri Ramziswan, 52, dan Indrawati, harus menyediakan dana sekitar Rp4,5 juta.
Dana sebanyak itu diperlukan buat membayar biaya registrasi Rp 100.000, biaya SPP Rp 750.000, uang praktikum Rp 300.000, uang bakti Rp 320.000, biaya ESQ Rp 275.000, Toefel/Napza Rp125 Ribu, biaya ICT Rp 350.000, dan uang pengembangan institusi Rp 2 juta. ”Sampai sekarang, uang sebanyak itu kami belum punya. Entah ke mana akan kami carikan,” ujar Indrawati, ibu Sri Rahmi kepada Padang Ekspres, kemarin.
Sri mengaku ingin kuliah. Dia ingin membuat kedua ibu-bapaknya yang hidup dalam balutan kemiskinan, berbahagia pada masa mendatang. ”Tapi, apakah masih mungkin? Sementara untuk kuliah saja, sekarang kami tak punya uang,” ucap Sri dengan tatapan hampa.
Masih Butuh
Lain Siti Aisyah dan Sri Rahmi, lain pula nasib Rati Febrianti, 18, dan Sufmika Martalina, 18. Rati merupakan anak keluarga miskin di Nagari Situjuah Banda Dalam. Ayahnya, Radias, 59, dan ibunya Wirda, 46, pasangan buruh tani. Mereka hidup serba kekurangan.
Sedangkan Martalina, warga miskin dari Kampung Balaitinggi, Nagari Gurun, Harau. Bapaknya, Zakuan, 55 dan ibunya Erna, 42 juga hidup susah. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk memenuhi biaya makan sehari-hari saja keluarga ini sudah kesulitan mencarinya.
Saat pengumuman, SNMPTN 30 Juni lalu, Rati diterima pada jurusan Matematikan, Unand. Tapi, Rati yang alumni SMAN 1 Situjuah Limo Nagari, membutuhkan biaya Rp4,2 juta. Alhamdulillah, kemarin siang, ada dermawan yang memberinya bantuan Rp2 juta.
”Tadi, Ratih memperoleh bantuan dari Desra, Direktur PT Mitra Utama Payakumbuh. Bantuan langsung beliau serahkan, dalam bentuk buku tabungan. Kini, Ratih tinggal mencari sebantyak Rp2,2 juta lagi. Mudah-mudahan saja, ada donatur yang mau membantu,” ujar Rati.
Sementara Sufmika Martalina, sewaktu pengumuman SNMPTN terbit, dinyatakan lulus Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Negeri Riau. Untuk bisa kuliah, Sufmika Martalina yang alumni SMAN 1 Harau, membutuhkan biaya sekitar Rp5,5 juta.
Awalnya, keluarga Sufmika Martalina, tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, Alhamdulillah, berkat bantuan dermawan yang budiman, Sufmika akhirnya bisa memperoleh uang Rp5,5 juta. “Kini, saya tinggal siap-siap berangkat ke Pekanbaru, untuk kuliah di Unri,” ujarnya.
Dengan demikian, tinggal tiga siswi dari Kabupaten Limapuluh Kota yang masih membutuhkan biaya, untuk mendaftar ulang di Unand dan Unri. Siapakah diantara kita yang mau peduli dan berbagi? Atau jangan-jangan memang benar, bahwa di negeri ini, orang miskin dilarang untuk kuliah! padang ekspres